Merajut Benang Tenun di Sade
Di kampung Sade, aktivitas menenun menjadi pemandangan yang eksotik dan langka bagi para wisatawan asing maupun wisatawan nusantara. Jari-jari yang sudah mulai keriput itu, terlihat tetap lincah menata dan menyusun helai benang agar berhasil menciptakan deretan warna yang menarik.
Kemudian, perempuan itu pun kembali menarik alat yang terbuat dari kayu, untuk mengikat benang yang telah disusunya tadi. Untuk menghasilkan satu lembar pakaian tenun asli Sasak, membutuhkan waktu 2 – 3 minggu. Tenun ikat asal kampung Sade, Desa Rambitan, Kecamatan Jumputan, Kabupaten Lombok Tengah, Nusantara Tenggara Barat, terjaga kelestariannya dari turun temurun. Produk tenunnya pun bisa dijadikan benda koleksi yang menarik.
Masyarakat kampung Sade, Desa Rambitan adalah penduduk asli suku tradisional Sasak, yang telah ada sejak jaman 1907. Bahkan, leluhur mereka, telah ada sejak jaman pra sejarah. Dan, tenun pun mengiringi sejarah mereka. Aktivitas menenun ini, dilakukan oleh sebagai wanita dewasa dan ibu rumah tangga, manakala tanah diladangnya sudah bisa ditanami padi karena kekeringan.

Cara menjualnya pun unik, bagi yang tidak mempunyai lahan, mereka mendisplay produk hasil tenunannya di depan pintu halaman rumahnya. Harga produk tenun di kampung Sade dijual paling murah antara Rp. 50.000 – 150.000 untuk per helainya.
Mayoritas perempuan dewasa penduduk Sade, sangat piawai menenun dengan menggunakan alat tenun tradisional. Sebab sejak umur 10 tahun, mereka diajari cara menenun. Ada suatu filosofi atau tradisi yang dianut di suku Sasak, perempuan Sasak jika belum piawai menenun, maka perempuan tersebut secara adat, belum boleh di nikahkan. Karena dianggap belum baligh, atau dewasa.
Tenun asal Kampung Sade, atau Lombok pada umumnya cukup menarik, baik secara warna maupun produknya. Sebab, benang yang mereka gunakan berasal dari kapas, yang kemudian mereka pintal sendiri dengan menggunakan alat yang masih tradisional. Hasil pintalan benang ini, selain sebagaian digunakan untuk dijadikan tenunan, mereka pun menjual benang ke beberapa penenun lainnya. Satu pintal benang tenun, berharga Rp. 30 ribu. Untuk menghasilkan produk seperti kain tenun menghabiskan beberapa pintal benang.
Setelah benang usai di pintal, proses selanjutnya adalah mewarnai benang tersebut dengan serat atau unsur yang ada di alam. Baik itu mengunakan, tanah, maupun getah tumbuhan. Pembuatan zat warnanya terdiri dari dua warna yaitu biru dan merah. Untuk warna biru didapatkan dari indigo atau Mirinda Citrifonela alias buah mengkudu. Selain itu ada pewarna dari tumbuhan lain seperti kesumba pohon kayu sono keeling. Pewarna alami ini, secara kualitas mampu meresap kebenang dan tidak akan pudar.
Rumah Adat Sasak

Sejak jaman nenek moyang Sasak ada, hingga sekarang rumah adat ini masih terjaga keasliannya. Bahkan rumah adat ini, masih digunakan sebagai rumah yang nyaman untuk melanjutkan keturunan mereka. “Ada tiga jenis rumah Sasak yang dapat dijumpai di kampung ini. Dan, masing-masing rumah tersebut memiliki fungsi dan kegunaan yang berbeda-beda,” ungkap Enaf Tour Guide Desa Wisata Sade.
Rumah adat Sasak jenis pertama bernama Bale Kodong. Bale Kodong ini adalah rumah adat Sasak yang ukurannya paling kecil, dibandingkan dengan rumah adat jenis lainnya. Bale Kodong digunakan oleh keluarga yang lanjut usia, bersama anak cucunya. Bale Kodong pun biasa digunakan oleh pasangan penganten yang baru menikah, sebelum mereka akan membangun rumah baru yang lebih besar.
Rumah adat jenis yang kedua adalah Bale Tani. Bentuknya persis Limas, atau Joglo bila di rumah adat Jawa. Bale Tani adalah bangunan rumah yang ditempati sebagai rumah. Di dalam Bale Tani terdapat satu ruang untuk Sesangkok (serambi), satu ruang Dalem Bale (kamar) dan satu ruangan lagi yaitu Pawon (dapur).
Antara serambi atau sesangkok dengan bale dalem tidak sama. Posisi kamar pasti lebih tinggi dari pada serambi. Kemudian, untuk masuk ke dalem bale terdapat tiga undakan, dengan pintu yang dinamakanlawang kuri. Masing-masing pondasi untuk sesangkok, ke bale dalem memiliki tinggi yang berbeda-beda. Hal ini dimaknai, manusia sebagai ciptaan Tuhan memiliki tingkat keimanan, ilmu pengetahuan maupun kekayaan yang berbeda-beda.
Rumah adat jenis yang lainnya adalah Bale Bonter. Bale Bonter ini dipergunakan sebagai tempat pesangkepanadat antara lain sebagai tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat, tempat pembuatan awig-awig dll. Bale Bonter ini berbentuk segi empat bujur sangkar, memiliki paling sedikit 9 tiang, dan paling banyak 18 tiang. Bale Bonter, dikelilingi dengan dinding bedek tidak memiliki sekat.

Selain itu, cirri khas lantai dari rumah sasak ini terbuat dari tanah liat yang telah dicampur dengan sekam padi dan kotoran sapi maupun kerbau. Seminggu sekali di lantai tersebut di pel menggunakan kotoran sapi atau kerbau. Hal ini dilakukan untuk menjadikan suhu rumah lebih hangat, menghilangkan debu, serta membuat lantai bisa keras seperti lantai dari semen.
Untuk membangun rumah adat Sasak yang siap huni, dibutuhkan waktu sedikitnya 2 – 3 bulan, dengan menghabiskan penutup atap rumah sebanyak 5 – 7 pikul alang-alang. Dengan biaya tidak kurang dari Rp. 30 juta. Lamanya konstruksi pembangunan dikarenakan harus terbentuknya tanah liat sebagai lantainya. Dan, setiap konstruksi rumah adat Sasak harus selalu menyediakan ruangan bersalin, sebelum dukun bayi atau dokter memberikan pertolongan selanjutnya.
Akses Ke Kampung Sade

Dari BIL, destinasi tersebut dapat ditempuh dengan jarak 70 KM, atau 2 jam perjalanan menggunakan bus. Untuk urusan transportasi, akan lebih mudah jika menggunakan jasa transportasi dari beberapa travel agent yang ada di kawasan bandara maupun di kota Mataram. Sedangkan, untuk akomodasi, akan lebih nyaman bila memilih tempat di kawasan Senggigi. Dari Senggigi, menuju ke Sade justru semakin dekat. Hanya setengah jam perjalanan menggunakan bus atau mobil hotel.
Posting Komentar